Hukum Mengadakan Walimah Khitan dan Memenuhi Undangannya

Para ulama berbeda pendapat mengenai pengadaan walimah khitan. Ada yang mengatakan walimah khitan itu sunnah, dan memenuhi undangan juga sunnah. Ini adalah madzhab Hanafiyyah[1], satu pendapat dari madzhab Syafi’iyyah[2], dan satu pendapat dari madzhab Hanabilah[3].

Dikatakan, disunnahkan mengadakan walimah khitan hanya untuk anak laki-laki, bukan untuk anak perempuan – karena khitan anak perempuan itu bersifat tersembunyi dan ada perasaan malu untuk menampakkannya. Pendapat ini dipilih oleh Al-Adzra’iy dari kalangan Syafi’iyyah.[4]

Dikatakan, walimah khitan adalah mubah, dan memenuhi undangannya juga mubah. Ini adalah pendapat Malikiyyah[5] dan Hanabilah[6].

Dan dikatakan juga, walimah khitan itu adalah makruh, dan menghadirinya pun makruh. Pendapat ini dipilih sebagian ulama Malikiyyah[7], dan ia merupakan satu riwayat dari Ahmad[8].

Dari berbagai pendapat yang ada, yang raajih (kuat) hukum mengadakan walimah khitan adalah mubah, sebab ia hanyalah terkait dengan adat istiadat dan kebiasaan manusia saja. Inilah hukum asal dari setiap walimah, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah ushul :

الأصل في الأشياء الإباحة إلا إذا أتى ما يدل على تحريم ذلك الشيء

“Asal dari segala sesuatu adalah diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya” [Min Ushuulil-Fiqh ‘alaa Manhaji Ahlil-Hadiits, oleh Zakariyyah bin Ghulaam Qaadir Al-Baakistaaniy, hal. 166].

Ia akan diberikan pahala sesuai dengan apa yang diniatkannya.

Adapun pendapat yang memakruhkan, atau bahkan sampai mengharamkannya (sebagaimana beredar di sebagian ikhwah), maka ini keliru.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

إذا دعا أحدكم أخاه فليجب، عرسا كان أو نحوه.

“Apabila salah seorang di antara kalian mengundang (walimah) saudaranya, hendaklah ia memenuhinya – baik undangan pernikahan atau yang semisalnya” [HR. Abu Dawud no. 3738].

Perkataan beliau : “atau yang semisalnya” mengandung faedah bahwa walimah itu tidaklah sebatas walimatul-‘urs saja. Namun walimah-walimah lain yang menjadi kebiasaan dan adat manusia. Termasuk walimah khitan.

Inilah yang dipegang oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, dimana beliau mengatakan :

أما الوليمة العرس فهي سنة، والإجابة إليها مأمور بها وأما وليمة الموت فبدعة، مكروه فعلها، والإجابة إليها. وأما وليمة الختان فهي جائزة : من شاء فعلها، ومن شاء تركها.

Walimatul-‘urs hukumnya sunnah dan memenuhi undangannya adalah diperintahkan. Adapun walimah atas kematian seseorang, maka itu bid’ah yang dibenci (makruh) melaksanakannya dan memenuhi undangannya. Sedangkan walimah khitan, maka hukumnya jaaiz (diperbolehkan). Barangsiapa yang ingin, maka boleh ia melakukannya ataupun meninggalkannya…” [Majmu’ Al-Fataawaa, 32/206].

Hadits di atas juga mengandung faedah akan wajibnya memenuhi semua undangan walimah, termasuk khitan.[9]

Syamsul-Haq ‘Adhiim ‘Abadiy berkata saat menjelaskan hadits riwayat Abu Dawud di atas :

وقد احتج بهذا من ذهب إلى أنه يجب الإجابة إلى الدعوة مطلقاً. وزعم ابن حزم أنه قول جمهور الصحابة والتابعين.

“Hadits ini telah digunakan sebagai hujjah oleh orang yang berpendapat wajibnya memenuhi undangan secara mutlak. Dan Ibnu Hazm mengatakan bahwasannya hal itu merupakan pendapat jumhur shahabat dan tabi’in” [‘Aunul-Ma’bud, 10/204].

Hal itu dikuatkan oleh riwayat lain dengan (tambahan) lafadh :

من لم يجب الدعوة فقد عصى الله ورسوله.

“Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan tersebut, sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR. Ahmad no. 5263; shahih – lihat keterangannya dalam Adaabuz-Zifaaf, hal. 154].

Tanbih !!

عن الحسن قال : دعي عثمان بن أبي العاص إلى ختان فأبى ان يجيب فقيل له فقال انا كنا لا نأتي الختان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا ندعى له

Dari Al-Hasan ia berkata : “’Utsman bin Abil-‘Ash pernah diundang walimah khitan, maka ia menolak untuk memenuhinya. Lalu ditanyakan kepadanya hal tersebut. Ia menjawab : ‘Kami dulu pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi undangan khitan dan tidak diadakan undangan padanya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/217 no. 17938 dan Ath-Thabaraniy 9/48].

Hadits ini adalah dla’if karena ‘an’anah Muhammad bin Ishaq, sedangkan ia seorang mudallis. Oleh karena itu, riwayat tidak bisa digunakan sebagai hujjah.

***

Itu saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.

[Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy – Perumahan Ciomas Permai, pertengahan bulan Rajab 1430 H].


[1] Badaai’ush-Shanaai’ (7/10).

[2] An-Nawawi rahimahullah berkata :

الوليمة مستحبة لغير العرش

“Walimah itu disunnahkan, selain dari walimah pernikahan (yang dihukumi wajib)” [I’aanatuth-Thaalibiin, 3/357].

وأما سائر الولائم، فمستحبة، ليس بواجبة على المذهب وبه قطع الجمهور، ولا يتأكذ تأكد وليمة النكاح.

“Adapun seluruh walimah, maka hukum sunnah, bukan wajib berdasarkan pendapat madzhab. Dan pendapat inilah yang dinyatakan oleh jumhur ulama. Namun hal itu tidaklah ditekankan (untuk mengadakannya) sebagaimana ditekankan dalam walimah pernikahan” [Raudlatuth-Thaalibiin, 7/333].

[3] Dikatakan dalam Al-Inshaaf (5/320) :

هذا قول أبي حفص العكبري، وقطع به في الكافي، والمغني، والشرح، وشرح ابن منجا، وهو ظاهر كلام ابن أبي موسى، قاله في المستوعب.

“Ini adalah perkataan Abu Hafsh Al-‘Ukbariy yang dinyatakan dalam Al-Kaafiy, Al-Mughniy, Asy-Syarh, dan Syarh Ibni Manjaa. Dan hal itu yang nampak dari perkataan Ibnu Abi Musa, dimana ia mengatakannya dalam Al-Mustau’ab”.

[4] Mughnil-Muhtaaj, 4/403.

[5] Dikatakan dalam Mawaahibul-Jaliil (4/3) :

ومباحة الإجابة : وهي التي تعمل من غير قصد مذموم، كالعقيقة للمولود، والنقيعة للقادم من السفر، والوكيرة لبناء الدار والخرس للنفاس، والإعذار للختان، ونحو ذلك.

“Walimah yang hukumnya mubah untuk memenuhi undangannya adalah walimah yang dilakukan bukan untuk tujuan yang tercela, seperti : ‘aqiqah saat kelahiran bayi, perjamuan yang dilakukan oleh orang yang baru datang dari safar, perjamuan karena pembangunan rumah dan wanita setelah selesai nifas, perjamuan pada waktu khitan, dan yang lainnya”.

[6] Syarh Muntahaa Al-Iraadaat (3/33), Kasysyaaful-Qinaa’ (5/166), dan Mathaalibu Ulin-Nuhaa fii Syarh Ghaayatul-Muntahaa (5/234). Dikatakan dalam Al-Inshaaf (8/320) : “Ia merupakan pendapat yang shahih dari madzhab”.

[7] Dikatakan dalam Asy-Syaamil :

ووجوب إجابة الدعوة إنما هو لوليمة العرس، وأما ما عداها فحضوره مكروه إلا العقيقة فمندوب.

“Wajib hukumnya memenuhi undangan hanya untuk walimatul-‘urs (pesta pernikahan) saja. Adapun selainnya, maka menghadirinya adalah makruh, kecuali ‘aqiqah yang itu dianjurkan (untuk menghadirinya)”.

[8] Al-Inshaaf (8/231).

[9] Dengan syarat jika walimah tersebut tidak mengandung/memuat perkara-perkara yang diharamkan oleh syari’at.


Sumber: http://id.ahlussunnah.mobi/fiqih/hukum-mengadakan-walimah-khitan-dan-memenuhi-undangannya


e-Book Kisah-Kisah Tentang Ka'bah

Ka'bah adalah rumah peribadatan yang dibangun oleh Nabi Ibrahim 'alaihissalam di kota Makkah. Alloh memerintahkan beliau untuk membangunnya, agar manusia beribadah kepada Alloh di sana.

Sebagai seorang muslim, ketika sholat kita juga harus menghadap ke arah Ka'bah. Karena itulah Ka'bah disebut sebagai kiblat. Apabila seorang muslim mampu, dia juga diperintahkan untuk berhaji ke sana.

Nah, e-book ini berisi kisah-kisah tentang Ka'bah. Mulai dari pembangunannya oleh Nabi Ibrahim 'alaihissalam, kemudian kisah pasukan bergajah yang ingin menghancurkan ka'bah sampai kisah Kholifah Al-Mahdi bin Manshur dan Imam Malik.

Kisah-kisahnya sangat bagus. Kakak harapkan kalian tidak hanya terhibur, tapi juga bisa mengambil banyak pelajaran dari kisah-kisah tersebut.

DOWNLOAD DI SINI

e-Book Bidayah Wan Nihayah

Benarkah Khalifah Pertama Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiallahu 'anhu diracun hingga menyebabkan kematian beliau?

Benarkah penyebab dicopotnya Khalid bin al-Walid RAdiallahu 'Anhu dari jabatannya sebagai panglima pasukan karena adanya intrik pribadi antara dia dengan Umar bin al-Khaththab Radiallahu 'Anhu?

Benarkah isu-isu tendensius yang menyebutkan bahwa Utsman bin Affan Radiallahu 'Anhu lebih mengutamakan karib kerabat untuk memegang jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan seperti yang dituduhkan sebagian orang?

Apa yang melatar-belakangi peperangan Jamal yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib Radiallahu 'Anhu dengan az-Zubair, Thalhah dan 'Aisyah Radiallahu 'Anha?

Dan Apa pula yang melatarbelakangi peperangan antara Ali bin Abi Thalib Radiallahu 'Anhu dengan Mu'awiyah Radiallahu 'Anhu di Shiffin?

Benarkah isu yang menyebutkan bahwa al-Hasan bin Ali Radiallahu 'Anhu diracun oleh Mu'awiyah RAdiallahu 'Anhu hingga menyebabkan kematiannya?

Begitu banyak isu-isu kontroversial yang disebutkan dalam buku-buku sejarah yang perlu diluruskan. Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari penyimpangan sejarah.

Semoga kehadiran e-Book ini akan meluruskan penyimpangan sejarah yang banyak diselewengkan oleh tangan-tangan jahil.


DOWNLOAD DISINI


Membina Rumah Tangga Islami

Diantara hal yang terpenting yang mempengaruhi terwujudnya kebahagian pada individu dan masyarakat adalah pembinaan keluarga yang istiqamah diatas ajaran Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah menjadikan rumah tangga dan keluarga sebagai tempat yang disiapkan untuk manusia merengkuh ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan sebagai anugerah terhadap hambaNya.

Untuk itulah Allah berfirman,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Ar-Rum [30]:21)

Dalam ayat yang mulia diatasketentraman yang dimaksudkan adalah, ketentraman dalam prilaku dan jiwa dan merealisasikan kelapangan dan ketenangan yang sempurna. Sehingga hubungan pasutri itu demikian dekat dan dalamnya seakan-akan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Allah jelaskan hal ini dalam firmanNya,

“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]:187)

Apalagi bila hubungan ini ditambah dengan pembinaan dan pendidikan anak-anak dalam naungan orang tua yang penuh dengan rasa kasih sayang. Adakah nuansa dan pemandangan yang lebih indah dari ini? Hal ini menjadi penting karena perintah Allah,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim [66]:6)

Ini semua menjadi tanggung jawab kita semua, sebab kita semua adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin.” (Muttafaqun alaihi)

Dalam hadits diatas, jelaslah Allah telah menjadikan setiap orang menjadi pemimpin baik skala bangsa, umat, istri dan anak-anaknya. Setiap orang akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah. Ingatlah tanggung jawab anak dan istri adalah tanggung jawab besar disisi Allah, hal ini dengan menjaga mereka dari api neraka dan berusaha menggapai kesuksesan didunia dengan mendapatkan sakinah, mawaddah dan rahmat dan di akherat dengan masuk kedalam syurga. Inilah sesungguhnya target besar yang harus diusahakan untuk diwujudkan.

Oleh karena itu agama Islam memberikan perhatian khusus dan menetapkan kaedah dan dasar yang kokoh dalam pembentukan keluarga muslim. Islam memberikan kaedah dan tatanan utuh dan lengkap sejak dimulai dari proses pemilihan istri hingga memberikan solusi bila rumah tangga tidak dapat dipertahankan kembali.

Pembinaan keluarga ini semakin mendesak dan darurat sekali bila melihat keluarga sebagai institusi dan benteng terakhir kaum muslimin yang sangat diperhatikan para musuh. Mereka berusaha merusak benteng ini dengan aneka ragam serangan dan dengan sekuat kemampuan mereka. Memang sampai sekarang masih ada yang tetap kokoh bertahan namun sudah sangat banyak sekali yang gugur dan hancur berantakan. Demikianlah para musuh islam tetap dan senantiasa menyerang kita dan keluarga kita. Allah berfirman,

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-baqarah [2]:217)

Hal ini diperparah keadaan kaum muslimin dewasa ini yang telah memberikan perhatian terlalu besar kepada ilmu-ilmu dunia, namun lupa atau melupakan ilmu agama yang jelas lebih penting lagi. Ilmu yang menjadi benteng akhlak dan etika seorang muslim dalam hidup, dan menggunakan kemampuannya dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan gelombang ujian dan fitnah ini. Mereka lupa membina dirinya, keluarganya dan anak-anaknya dengan ajaran syari’at Islam yang telah membentuk para salaf kita terdahulu menjadi umat terbaik didunia ini.

Memang muncul satu fenomena bahwa urgensi dan tugas orang tua sekarang hampir-hampir menjadi sempit hanya sekedar mengurusi masalah pangan dan sandang saja. Ditambah lagi bapak sibuk dan ibupun tidak kalah sibuknya dalam memenuhi sandang pangan dan mencapai karier tertinggi. Akhirnya anak-anak terlantar dan tidak jelas arah pembinaan dan pendidikannya.

Padahal orang tua memiliki pengaruh besar dalam pembentukan dan pembinaan pribadi anak. Lihatlah sabda Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Lalu kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi atau Nashrani.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Karena itu diperlukan pembinaan keluarga SAMARA diatas ajaran dan bimbingan Rasululloh dan contoh para salaf sholeh terdahulu.

Mengapa Harus di Atas Ajaran Rasululloh dan Contoh Para Salaf Sholih?

Hal ini karena itu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mendidik manusia menjadi makhluk yang berakhlak mulia dan lepas dari kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” ( Qs. al-Baqarah [2]: 151)

Demikianlah Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam membina dan mendidik para sahabatnya sehingga mereka lepas dari kebodohan dan kesesatan dan menjadi generasi terbaik, seperti dijelaskan Rasululloh dalam sabda beliau,

“Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku kemudian yang menyusul mereka kemudian yang menyusul mereka.” (HR al-Bukhori 5/191 dan Muslim no. 2533)

Mereka menjadi manusia terbaik dibawah pembinaan pendidik terbaik Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Mu’awiyah bin al-Hakam radhiallahu ‘anhu mengungkapkan kekagumannya terhadap Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang pendidik dalam ungkapan indahnya,

“Aku tidak akan melihat seorang pendidik sebelum beliau dan sesudahnya yang lebih baik dari beliau.” (HR Muslim no. 836)

Demikianlah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan terbaik yang Allah perintahkan kita untuk mencontoh dan mengikutinya dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzab: 21). Dalam ayat lainnya, Allah memuji beliau dengan firmanNya.

“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs al-Qalam[68]: 4)

Sehingga beliau menjadi standar dalam pendidikan dan kehidupan seluruh manusia, oleh karenanya Sufyaan bin ‘Uyainah al-Makki menyatakan: Sungguh Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah standar terbesar. Segala sesuatu ditimbang diatas akhlak, sirah dan petunjuk beliau. Semua yang sesuai dengannya maka itu adalah kebenaran dan yang menyelisihinya adalah kebatilan.

Beliau dengan bimbingan dan taufiq dari Allah berhasil mendidik generasi terbaik yang telah mencapai kejayaan dan kemulian diatas dunia ini dan akan mendapatkan kebahagian mendampingi Rasululloh disyurga, yaitu generasi sahabat yang merupakan pemuka-pemuka para salaf ash-Sholih.

Setelah berlalu masa yang cukup panjang dan kaum muslimin sedikit demi sedikit melupakan generasi sahabat dan ajaran-ajaran Rasululloh yang pernah direalisasikan mereka dalam semua aspek kehidupan sehari-hari, maka lambat laum kemulian dan kejayaan tersebut akhirnya hilang dengan dipenuhinya hati kaum muslimin dengan cinta dunia. Akibatnya merekapun meninggalkan jihad di jalan Alllah . Kemudian tampak pada mereka kehinaan dan kelemahan sehingga akhirnya kebidahan dan musuh-musuh mereka berhasil mencabik-cabik mereka sehingga realitanya dapat disaksikan dimasa kiwari ini.
Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mengetahui garis besar singkat ketentuan pendidikan di masa salaf ash-Sholih agar kita teladani di masa kita sekarang ini. Juga agar kemulian yang telah lalu dan kejayaan yang telah hilang kembali lagi kepada kita. Sebab tidak ada jalan untuk demikian kecuali dengan kembali kepada ajaran agama yang pernah difahami dan diamalkan para salaf ash-Sholih. Kembali kepada agama kita yang hanif dan ajaran-ajarannya. Inilah yang dijelaskan Rasululloh ketika menyampaikan solusi kejayaan umat ini setelah menderita kehinaan dalam sabda beliau,

“Apabila kamu telah berjual beli dengan ‘Ienah (rekayasa riba), kalian memegangi ekor-ekor sapi, kalian ridho dengan pertanian dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Daud dan dinilai Syeikh al-Albani sebagai hadits shohih dengan berkumpulnya jalan-jalan periwayatannya (Shohih Bi Majmu’ Thuruqihi) dalam silsilah al-Ahadits ash-Shohihah no. 11)

Kembali kepada agama dalam hadits ini dijabarkan dan dijelaskan Rasululloh dalam hadits Abu Laits al-Waaqidi yang berbunyi,

“Sesungguhnya akan terjadi fitnah. Para sahabat bertanya: Lalu bagaimana kami berbuat wahai Rasululloh? Lalu beliau mengembalikan tangannya ke permadani dan memegangnya lalu berkata: ‘Berbuatlah demikian!’

Pada satu hari Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, ‘Sungguh akan terjadi fitnah.’

Namun banyak orang yang tidak mendengarnya. Maka Mu’adz bin Jabal mengatakan, ‘Tidakkah kalian mendengar perkataan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka menjawab, ‘Apa sabdanya?’ Maka beliau berkata, ‘Sesungguhnya akan terjadi fitnah.’ Mereka bertanya, ‘Bagaimana dengan kami wahai Rasululloh? Bagaimana kami berbuat?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian kembali kepada urusan kalian yang pertama.’” (HR Ath-Thobrani dan sanadnya dinilai Shohih oleh Syeikh ‘Ali Hasan dalam at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah)

Alangkah butuhnya kita dizaman ini untuk kembali kepada ajaran Rasululloh dan pemahaman para sahabat, khususnya dalam pendidikan. Kita juga butuh untuk menjalankan dan komitmen dengan adab-adabnya dan cara mereka mengajari anak-anak mereka dan menjadikannya sebagai pedoman dan metode perilaku kita. Hal ini tidak akan terealisasi kecuali setelah kita bersandar total kepada metode al-Qur’ani dan metode Nabi dalam ilmu, belajar dan mengajar yang telah diamalkan para salaf sholih tersebut dengan menjadikannya sebagai dasar dan menerapkannya secara benar dan menyeluruh.

Majalah Al-Furqon

Buku

Buku

Buku

TOKO KAMI SPACE IKLAN

Tukaran Banner

logo rumahkami